ABSTRAKSI
Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Poso dalam perspektif state dan civil society hendaknya dipahami bahwa, konflik tersebut berlangsung akibat dari lemahnya komunikasi para aktor sipil, dan salah satu upaya penguatan basis masyarakat sipil adalah dengan cara membangun komunikasi dan menanamkan nilai-nilai dan tujuan bersama diantara mereka. Salah satu upaya membangun dialog tersebut adalah cara membangun institusi ekonomi yang melibatkan semua komunitas yang pernah bertikai. Penguatan di tingkat peraturan daerah dapat dilakukan jika model-model praktis telah ditemukan. Konsep tentang nilai budaya sintuwu maroso hendaknya lebih ditransformasikan kedalam nilai-nilai kerjasama ekonomi dan etos kerja masyarakat dalam rangka membentuk elang juang masyarakat Poso.
PERGESERAN NILAI SINTUWU MAROSO
SEBAGAI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT POSO
AKIBAT KONFLIK SOSIAL
A. PENDAHULUAN
Dalam tulisan ini lebih cenderung mengulas tentang konflik social di Poso karena menurut penulis factor yang sangat mempengaruhi pergeseran nilai sintuwu maroso adalah konflik social ini.
Poso merupakan sebuah kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki luas wilayah 14.433,76 Km2 dengan letak geografis 0,35-1,20 LU dan 120,12-122,09 BT. Di wilayah administratif kabupaten Poso menyebar 13 kecamatan yang membawahi 211 desa dan 29 kelurahan, yang didiami 231.891 jiwa (sensus penduduk 2000) dengan pluralitas masyarakat yang hidup dari beragam komunitas etnis dan agama.Di samping tanah pertanian yang subur, sebagian besar wilayah kabupaten Poso ditumbuhi hutan dengan vegetasi kayu-kayuan (jenis agathis, ebony, meranti, besi, damar dan rotan), fauna yang hidup secara endemik (anoa, babi rusa dan burung maleo) serta tambang mineral yang cukup banyak tersebar di sekitar kawasan pegunungan.
Masyarakat Poso mempunyai latar belakang sejarah dan peradaban yang panjang di masa lampau yang bisa dilacak lewat warisan peninggalan kebudayaan megalit. Secara kultural masyarakat Poso yang menggunakan bahasa Bare’e dalam komunikasi, mengikat kekerabatan mereka dengan semboyan sintuwu maroso (persatuan yang kuat) yang bertahan hingga meledaknya konflik sosial pada akhir 1998 yang terus berlanjut sampai dengan sekarang.
I. LATAR BELAKANG
Pembangunan yang dilaksanakan Pemerintah Republik Indonesia untuk mawujudkan tujuan dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 tidak seluruhnya berjalan tanpa hambatan, baik hambatan dalam menjalankan program tingkat nasional maupun local. Hambatan bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit, ada akar historisnya dan ironisnya akar historis tersebut tak jarang bermula dari sejarah kolonialisme. Konflik Poso menurut sebagian besar pengamat merupakan konflik horizontal antar agama, meskipun sebenarnya konflik tersebut tidaklah sesederhana itu, karena melibatkan juga persilangan antar etnik, baik lokal maupun pendatang dan kepentingan politik sipil maupun militer serta masuknya kekuatan luar, baik seperti laskar jihad maupun militer seperti satuan-satuan TNI dan Polri yang di-BKO-kan. Konflik tersebut berlangsung sejak tahun 1998 dan berlarut-larut sampai dengan enam jilid.
Konflik Poso yang muncul di permukaan lebih dilihat dari aspek SARA (suku, agama, ras dan antar kelompok). Akan tetapi bila diperhatikan secara cermat, konflik Poso lebih didasarkan pada kesenjangan politik pemerintahan dan kesenjangan sosial ekonomi. Kesenjangan politik pemerintahan pada dasarnya dipicu pergeseran pemegang tampuk pemerintah-an daerah/lokal. Pergeseran pengendalian pemerintahan di kawasan Poso dari pemerintahan kolonial Hindia-Belanda kepada NKRI juga menggeser kepemimpinan dari etnis lokal (suku Pamona) ke etnis pendatang. Pergeseran ini juga berimplikasi terhadap proses rekrutmen pegawai negeri sipil daerah setempat. Sementara itu, pergeseran lokasi kegiatan ekonomi dari Poso Kota (lama) ke Poso Kota (baru) tentu berimplikasi terhadap penguasaan aktivitas ekonominya, karena ada kecenderungan bahwa berpindahnya pusat pemerintahan (daerah) mengundang berge-sernya pusat-pusat perekonomian dan perdagangan mendekati pusat-pusat pemerintahan. Singkatnya terjadi akumulasi kegiatan di pusat pemerintahan baru, yang notabene mayoritas penduduknya adalah Muslim.
Sementara itu, kesenjangan sosial ekonomi diawali dengan masuknya pendatang ke Poso yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo. Para pendatang yang masuk ke Poso umumnya beragama Protestan dan Muslim. Kelompok yang disebut pertama berasal dari wilayah Toraja yang masuk ke Poso dari arah Selatan dan dari Minahasa serta Sangir Talaud dari arah Utara. Sedangkan pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah (dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen.
Pandatang umumnya lebih kuat, muda dan mempunyai daya juang untuk mampu bertahan di daerah baru. Kedatangan para pendatang ini juga menyebab-kan terjadinya peralihan lahan dari yang dahulunya atas kepemilikan penduduk asli, kemudian beralih kepemilikan-nya kepada para pendatang. Proses peralihan kepemilikan tersebut terjadi melalui program pemerintah dalam bentuk transmigrasi maupun penjualaan lahan-lahan pada para migran. Arus migrasi masuk ini cukup deras terjadi semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an dimana program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur prasarana angkutan darat, Trans-Sulawesi. Dikembangkannya tanaman bernilai ekonomi tinggi seperti kakao (coklat) dan kelapa (kopra) oleh para pendatang tentunya telah menghasilkan peningkatan kesejahteraan para pemiliknya. Walau penduduk asli mengikuti pola tanam yang sama dengan pendatang, akan tetapi penguasaan pemasaran hasil-hasilnya dikuasai oleh para pendatang. Penduduk asli merasa dirugikan dengan keadaan tersebut dilihat dari dua hal yaitu pertama, lahan pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang. Kedua, margin yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para pendatang. Sementara menurut Gerry van Kliken dari Koninklijk Instituut voor Taal (KITLV) Leiden, Belanda dalam konferensi internasional tentang konflik Asia Pasifik yang diadakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), MOST, UNDP dan UNESCO di Jakarta 22 Oktober 2003 menyebutkan (didasarkan atas penelitiannya) bahwa konflik Poso yang terjadi tahun 1998 dan 2001 lebih didorong oleh eskalasi isu, baik melalui penyebaran informasi lewat jalur yang sudah terbentuk (difusi) maupun penyebaran antar komunitas yang sebelumnya tidak memiliki ikatan sosial (brokerage). Ikatan yang kemudian muncul antar komunitas ini membuat konflik Poso yang bermula dari pertengkaran dua pemuda mabuk menjadi konflik antar agama.
Setiap konflik komunal pada masa Orde Baru relatif dapat diredam. Keberhasilan menumpas setiap konflik SARA di masa Orde Baru merupakan bagian integral dari upaya mewujudkan “keamanan dan ketertiban umum” (general security and order) bagi seluruh lapisan masyarakat di seluruh bagian Nusantara. Upaya ini dilakukan dengan :
(a) mengoperasikan seperangkat lembaga-lembaga hegemonik-ideologis;
(b) menciptakan suatu mesin politik raksasa yang bernama Golkar dengan berbagai organisasi massa turunannya serta dengan
(c) menggerakkan serangkaian mesin penundukan dengan kekerasan.
Strategi utama yang diterapkan adalah strategi umum yang lumrah dipakai oleh rezim otoriter “bagi-bagi berkah dan gebuk” (stick and carrot strategy). Pada era reformasi yang mulai bergulir sejak 1998 konflik bernuansa etnis/kedaerahan dan agama meningkat. Hal ini lebih disebabkan akumulasi ketidak-adilan dalam proses politik dan distribusi kekuasaan serta ketidakadilan dalam menikmati hasil pembangunan. Rakyat (khususnya di daerah) relatif lebih gampang terprovokasi oleh isu-isu yang belum tentu benar dan menjadi anarkis, apalagi isu yang dihembuskan sengaja bernuansa etnis dan agama. Dibandingkan dengan kawasan Indonesia Barat, konflik di Indonesia Timur jauh lebih sering. Hal ini disimpulkan bahwa keragaman suku di kawasan Indonesia Timur (547 suku) lebih tinggi dari Indonesia Barat (109 suku).
B. TINJAUAN PUSTAKA
I. SINTUWU MAROSO
Menurut asal katanya, sintuwu maroso berasal dari bahasa Pamona-Poso yaitu “sintuwu” yang artinya bersatu dan “maroso” yang artinya kuat. Dari dua arti kata tersebut dapat diambil makna sintuwu maroso yaitu persatuan yang kuat. Sintuwu maroso mempunyai banyak arti, setiap orang pasti memiliki pandangan yang berbeda tentang semboyan ini.
Menurut Ramlan dalam diskusi Forum Poso Bersatu mengatakan bahwa sintuwu maroso adalah semangat menyatukan berbagai kepentingan menjadi satu demi mencapai tujuan yaitu membangun Poso kearah yang lebih maju.
Menurut Jefferson dalam sebuah wawancara mengatakan bahwa sintuwu maroso diartikan sebagai suatu komando untuk melangkah bersama dalam perjuangan. Menurutnya, apabila melangkah bersama pasti ada persatuan dalam mengatasi segalah persoalan.
Menurut Atto dan Muslimin, berpendapat bahwa sintuw maroso berarti kekuatan dalam persatuan.
Bagi sebagian besar masyarakat Poso memiliki pandangan tentang sintuwu maroso, sebagai berikut:
a) Ideologi dalam kehidupan social masyarakat,
b) Symbol pemersatu masyarakat Poso,
c) Sebuah ungkapan yang memberikan rasa memiliki pada masyarakat Poso untuk bersungguh-sungguh membangun Poso.
II. KONFLIK
a. Pengertian Konflik
Konflik berasal dari bahasa Latin : conflictus yang artinya pertentangan, adalah perwujudan atau pelaksanaan beraneka pertentangan antara dua pihak yang dapat merupakan dua orang bahkan golongan besar seperti Negara.
Menurut A.M Hardjana, konflik adalah perselisihan, pertentangan, percekcokan, merupakan pengalaman hidup yang mendasar karena meskipun tidak harus tetapi mungkin bahkan amat mungkin terjadi, konflik terjadi manakalah dalam hubungan antara dua orang atau dua kelompok, perbuatan yang satu berlawanan dengan perbuatan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
b. Bentuk-Bentuk Konflik
Menurut Ramlan Subakti (1992) konflik dibedakan atas dua bagian yaitu konflik yang berwujud kekerasan dan konflik yang tidak berwujud kekerasan. Konflik yang berwujud kekerasan pada umumnya terjadi di dalam masyarakat dan Negara yang belum memiliki consensus mengenai dasar dan tujuan Negara dan mengenai mekanisme pengaturan dan penyelesaian konflik yang melembaga sehingga dampaknya adalah huru-hara, sabotase, kudeta, pemberontakan, separatisme, dan evolusi. Konflik yang tidak mengandung kekerasan bisa ditemui pada masyarakat dan Negara yang memiliki consensus mengenai dasar dan tujuan sehingga penyelesaiannya bisa melalui lembaga yang legal formal misalnya demonstrasi, pemogokan, pengajuan petisi, doaloq, dan polemic melalui surat kabar danlain-lain.
c. Penyebab Konflik
Menurut Paul Conn, konflik disebabkan oleh dua hal yaitu :
• Kemajemukan horizontal yakni masyarakat majemuk secara cultural seperti suku, bangsa, agama, ras, dan bahasa dan masyarakat majemuk secara horizontal social dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi.
• Kemajemukan fertikal seperti stuktur masyarakat yang terpolarisasikan menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.
C. PEMBAHASAN
I. SEJARAH SINGKAT POSO
Pada mulanya penduduk yang mendiami daerah Poso berada di bawah kekuasaan Pemerintah Raja-Raja yang terdiri dari Raja Poso, Raja Napu, Raja Mori, Raja Tojo, Raja Una Una, dan Raja Bungku yang satu sama lain tidak ada hubungannya. Keenam wilayah kerajaan tersebut di bawah pengaruh tiga kerajaan, yakni : Wilayah Bagian Selatan tunduk kepada Raja Luwu yang berkedudukan di Palopo sedangkan Wilayah Bagian Utara tunduk dibawah pengaruh Raja Sigi yang berkedudukan di Sigi (Daerah Kabupaten Donggala) dan khusus wilayah bagian Timur yakni daerah Bungku termasuk daerah kepulauan tunduk kepada Raja Ternate. Sejak Tahun 1880 Pemerintah Hindia Belanda di Sulawesi Bagian Utara mulai menguasai Sulawesi Tengah dan secara berangsur-angsur berusaha untuk melepaskan pengaruh Raja Luwu dan Raja Sigi di daerah Poso.
Pada 1918 seluruh wilayah Sulawesi Tengah dalam lingkungan Kabupaten Poso yang sekarang telah dikuasai oleh Belanda dan mulailah disusun Pemerintah sipil. Kemudian oleh Pemerintah Belanda wilayah Poso dalam tahun 1905-1918 terbagi dalam dua kekuasaan pemerintah, sebagian masuk wilayah Keresidenan Manado yakni Onderafdeeling (kewedanan) Kolonodale dan Bungku, sedangkan kedudukan raja-raja dan wilayah kekuasaanya tetap dipertahankan dengan sebutan Self Bestuure-Gabieden (wilayah kerajaan) berpegang pada peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Belanda yang disebut Self Self Bestuure Peraturan adat Kerajaan (hukum adat).
Ketiga Onderafdeeling ini meliputi beberapa Landschap dan terbagi dengan beberapa distrik yakni : Onderafdeeling Poso meliputi :Landschap Poso Lage berkedudukan di Poso, Landschap Lore berkedudukan di Wanga, Landschap Tojo berkedudukan di Ampana, Landschap Una Una berkedudukan di Ampana. Onderafdeeling Bungku dan Mori meliputi : Landschap Bungku berkedudukan di Bungku, Landschap Mori berkedudukan di Mori. Onderafdeeling Luwuk meliputi : Landschap Banggai berkedudukan di Luwuk. Disamping ketiga Onderafdeeling tersebut diatas terdapat empat Onderafdeeling lainnya, yaitu : Donggala , Palu, Toli Toli, dan Parigi. Kemudian pada tahun 1949 setelah realisasi pembentukan Daerah Otonom Sulawesi Tengah disusul dengan pembentukan Dewan Perwakilan Rakyat Sul-Teng. Pembentukan Daerah Otonom Sul-Teng merupakan tindak lanjut dari hasil Muktamar Raja-Raja se-Sul-Teng pada tanggal 13-14 Oktober 1948 di Parigi yang mencetuskan suara rakyat se-Sul-Teng agar dalam lingkungan Pemerintah Negara Indonesia Timur (NIT). Sul-Teng dapat berdiri sendiri dan ditetapkan bapak Rajawali Pusadan Ketua Dewan Raja-Raja sebagai Kepala Daerah Otonom. Selanjutnya, dengan melalui beberapa tahapan perjuangan rakyat Sulawesi Tengah melalui Dewan Perwakilan Rakyat Sul-Teng yang dipimpin oleh A.Y Binol pada tahun 1952 dikeluarkan PP No. 33 thn 1952 tentang pembentukan Daerah Otonom Sul-Teng yang terdiri dari Onderafdeeling Poso, Luwuk Banggai dan Kolonodale dengan Ibukotanya Poso dan daerah Otonom Donggala meliputi Onderafdeeling Donggala, Palu, Parigi, dan Toli Toli dengan Ibukotanya Palu. Pada tahun 1959 berdasarkan UU No. 29 Thn 1959 Daerah Otonom Poso dipecah menjadi dua daerah Kabupaten yakni : Kabupaten Poso dengan Ibukotanya Poso dan Kabupaten Luwuk Banggai dengan Ibukotanya Luwuk.
Kepala Daerah Bupati Kepala Daerah yang pernah memerintah di Kabupaten Poso berturut-turut, R. Pusadan (1948-1952), Abdul Latif Dg. Masiki (1952-1954), Alimoeddin Dg. Matiro (1954-1956), Djafar Lapasere (1956-1957), S.Kabo (1957-1959), A. Wahab (1959-1960), Ngitung (1960-1962), Drs. B.L Sallata (1962-1966), Drs. Galib Lasahido (1967-1973), Drs. R.P.M Koeswandi (1973-1984), Soegiono (1984-1988), Drs. J.W Sarapang (1988-1989), Arief Patanga (1989-1999), Drs. H. Abdul Muin Pusadan (1999-2004).Andi Azikin Sayuti (2004-2005), Drs. Piet Ingkiriwan (2005 -2010.).
II. TRANSFORMASI NILAI SINTUWU MAROSO DALAM MASYARAKAT POSO
Tulisan Ini berusaha mengurai kekerasan di Poso melalui satu pendekatan yang ada kemungkinan tidak populer dikalangan baik akademisi maupun mereka yang bergiat sebagai aktivis perdamaian. Sebuah pendekatan selain keberagaman, namun juga mengundang “kecemasan”, sebab dikhawatirkan akan menjadi legitimasi bagi kekerasan yang terjadi. Semoga bahasan ini terhindar dari sini. Karena tradisi pasca konflik tidak sedinamis fenomenanya sebelum konflik akibat tingkat kehati-hatian masyarakatnya semakin kuat memahami konteks luar.
Pasca konflik Poso kita belum menemukan formula ideal guna menuntaskan problem masyarakatPoso. Oleh sebab itu ada baiknya kita merumuskan agenda transisi yang jelas dan dapat diwujudkan dalam periode tertentu dan dengan mekanisme serta instrument demokratik yang berbasis pada masyarakat sipil sebab hal ini merupakan tuntutan penting daripada sekedar merumuskan formula-formula ideal yang sifatnya sesaat.
a. Bergesernya Makna Waangkabosenya: Dari Kultural ke Ekonomi
Poso hendaknya ditarik dalam satu perspektif kemajemukan, daerahnya terbentuk oleh model masyarakat yang plural, multi suku dan bermacam agama, meski demikian, mereka tidak terintegrasi satu dengan yang lainnya. Sebagaimana idealnya sebuah wilayah majemuk dibangun. Hal ini akibat adanya segregasi wilayah berdasar agama dan suku. Di kecamatan Poso Kota misalnya, nama kampung didasari pada suku yang dominan mendiami wilayah tertentu. Ada kampung Gorontalo, Kampung Bugis, Kampung Arab, Kampung Minahasa dan berbagai term yang menunjukan sebuah entitas etnis yang sangat ekstrim.
Segregasi berdasar suku dan etnis tersebut kemudian diperkuat lagi oleh entitas keberagamaan masyarakatnya. Artinya, Kampung Bugis, Kampung Gorontalo, Arab misalnya penduduknya dominan beragama Islam, sementara Kampung Minahasa dan semacamnya, lebih merujuk pada agama Kristen. Oleh sebab itu masyarakat yang multi etnis demikian terpetakan dalam spectrum perbedaan dripada persamaan dengan demikian, masyarakat majemuk adalah unit politik suku- yang dihuni berbagai suku yang hidup berdampingan satu sama lain tapi tidak bercampur.
Masyarakat majemuk tersebut dalam perkembangan selanjutnya, diwarnai oleh semangat perbedaan dalam nuansa politik (termasuk pertikaian) sementara semangat cultural yang mampu merepresentasi sikap toleransi dan pemahaman bersama tidak pernah muncul. Oleh karenanya, interaksi mereka mengalami siklus yang stagnan dan kontra produktif dalam isu kebersamaan dalam keragaman. Masyarakat kehilangan momentum penting dalam menata pergaulan antar budaya.
Sementara begitu banya institusi yang dapat dipakai oleh masyarakat sebagai tempat pertemuan, seperti kantor, sekolah, pesta dan pasar. Tetapi yang lebih dominan dipakai adalah pasar. Ruang public ini bukanlah wilayah yang kondusif bagi terjadinya akulturasi kebudayaan dalam konteks masyarakat majemuk, karena beberapa hal, salah satunya adalah sifatnya yang eksploitatif.
Realitas masyarakat Poso dalam hal pasar, lebih didominasi oleh mereka yang dikategorikan sebagai pendatang, (orang migran) masyarakat asli “terperangkap” oleh pola yang berbasis pada pertanian dan birokrasi pemerintahan. Kaum migran yang terlatih sebagai saudagar(istilah saudagar berasal dari kata Bugis yang dapat dijadikan indikator bagi kemampuan etis tersebut dalam penguatan ekonomi).
Hal lain, kaum migrant berhasil menerjemahkan etos kebudayaan mereka kedalam dimensi yang lebih luas, institusi pasar menjadi entry poin mereka untuk masuk kedalam berbagai bidang kehidupan, termasuk pertanian dan birokrasi yang dilihat oleh kaum migran juga dalam perspektif ekonomi. Sementara orang Poso masih berusaha survival di dua sektor tersebut. Keberhasilan kaum migrant menjadikan pasar sebagai awal dari sebuah kesuksesan ekonomi, memberi peluang mereka melakukan ekspansi pada semua sektor yang selama ini belum mereka sentuh. Lahan-lahan pertanian yang luas berhasil dimiliki demikian pula dengan birokrasi pemerintahan.
Dinamika dan perubahan struktur social masyarakat, bukan hanya disebabkan oleh kekuatan ekspansi yang dilakukan kaum migran, tetapi factor masyarakat lokal juga ikut memberi konstribusi. Sebab, Orang Poso memahami bahwa dinamika kebudayaan dilihat sebagai bagian dari kontinuitas tradisi. Sehingga resistensi yang akan muncul dalam masyarakat sedini mungkin terhindari.
Sikap akomodatif demikian pada perkembangannya memungkinkan adanya persentuhan tradisi, selanjutnya berdampak pada munculnya pluralism di masyarakat, seperti kemajemukan etnis dan agama, hal demikian juga berarti kemajemukan tradisi. Poso berkembang sebagai masyarakat yang plural, baik etnis maupun agama. Ikatan kekerabatan yang juga muncul sebagai akibat persentuhan tradisi, semboyan sintuwu maroso, bukanlah jargon yang dibuat hanya untuk kepentingan rekonsiliasi, namun term itu telah terbentuk sepanjang sejarah Poso.
Awalnya struktur social Orang Poso dikenal dengan istilah waangkabosenya yang terbagi atas dua klas, kabosenya adalah klas masyarakat atas (borjuasi atau pemilik modal) dan watua merepresentase klas bawah (Proletariat buruh tani). Kabosenya meski sebagai klas borjuasi, mereka juga memposisikan diri sebagai pelindung bagi watua yang bekerja pada kabosenya. Ekspansi yang dilakukan oleh kaum migrant, jauh sebelum terbukanya jalan trans Sulawesi, juga berdampak pada pole pergeseran tatanan nilai budaya waangkabosenya, bukan pada kelasnya tetapi eksistensi kelas tersebut. Penguasaan alat-alat produksi seperti tanah oleh kaum migrant menempatkan mereka sebagai klas kabosenya yang baru, sementara sebagian kabosenya lama, terutama generasi selanjutnya berubah menjadi watua. Pergeseran terjadi di wilayah substansi klas tersebut, sebab yang berlangsung kemudian adalah klas kabosenya tidak lagi bertindak sebagai pelindung bagi klas watua. Salah satu inti masalahnya terletak dalam konteks ini.
Jika sebelumnya, hubungan klas-klas dalam masyarakat Poso dalam konteks waangkabosenya tidak hanya berdimensi ekonomi, tapi juga social (kabosenya sebagai pengayom watua) dalam perkembangannya, dimensi ekonomi lebih member warna. kabosenya –watua tidak lagi berarti saling melindungi tetapi lebih pada watak ekonomi dan seringkali bersifat eksploitatif. Jika sebelumnya dimensi kebudayaan lebih menonjol, maka saat ini ekonomi menjadi dominan dalam tata pergaulan masyarakat Poso.
b. Stagnannya Penafsiran Tentang Makna Tradisi
Bergesernya makna waangkabosenya ikut mempengaruhi budaya Sintuwu maroso yang selama ini dititik beratkan pada model interaksi antar etnis dalam konteks social, ketika symbol budaya tersebut bersentuhan dengan semangat keagamaan, hal itu menjadi terabaikan. Hal yang sama terjadi di sektor ekonomi, tidak satupun apresiasi budaya mampu menerobos sekat-sekat formasi social yang sedang berlangsung.
Masyarakat Poso pada perkembangan selanjutnya, terjebak pada logika kapitalisme, dimana prinsip-prinsip saling membantu dan bekerja sama tidak tampak.kehidupan harmonis yang dilandasi semangat sintuwu maroso, Nampak hanya berada dalam logika social dan kekerabatan tanpa menyentuh aspek lain, seperti munculnya penciptaan system ekonomi yang mengedepankan prinsip saling membantu sebagaimana diamanahkan oleh symbol budaya tersebut.
Pola pendistribusian sumber daya ekonomi dalam masyarakat lebih mengikuti pasar dan logika kapitalisme, masyarakat kehilangan konteks membangun tradisi tersebut secara bersama dalam system yang saling berpegangan. Proses perubahan masyarakat Poso lebih ditentukan oleh salah satu moda-moda produksi dalam masyarakat sehingga dominasi tersebut meminjam istilah John Clammer (2003) “berarti memunculkanformasi sosial”.
Modal produksi dominan dalam masyarakat lebih terkondisi dalam bentuk hubungan ekonomi yang seringkali dinilai dengan hasil produksi, bukan tangungjawab social. Tidak pernah muncul satu program kerjasama ekonomi dengan memakai substansi budaya sintuwu maroso. Tidak berkembangnya pemaknaan terhadap nilai sintuwu maroso, berdampak pada tidak kuatnya symbol budaya tersebut menahan beban cultural sebagai akibat kuatnya gesekan ekonomi politik dalam struktur kehidupan masyarakat. Seperti rasa cemburu akibat adanya ketimpangan penguasaan sumberdaya, kecemasan akan kelamnya harapan orang lokal jika kaum migran dominan, dan status social sebagai watua bagi sebagian masyarakat lokal. Dalam pandangan moda produksi, Orang Poso dipahami sebagai korban dari berfungsinya mekanisme ekonomi dari penduduk asli ke kaum migran.
Akibat marjinalnya penduduk asli dalam segi ekonomi, namun secara budaya melakukan mekanisme pertahanan, agar lebih survival, maka budaya dipakai isu perekat untuk mempersatukan, etnisitas sering diterjemahkan sebagai identitas gerakan social guna mengakomodir perilaku-perilaku kekerasan.
Oleh sebab itu, konflik Poso tidak dapat dipahami murni sebagai konflik budaya, yang mempertemukan orang Poso yang “asli” dengan orang Poso yang “migran”. Artinya dalam waktu yang bersamaan konflik tidak dapat dipahami sebagai murni konflik dalam perspektif etnoreligius, meski yang terlibat adalah dua komunitas budaya dan agama yang berbeda. Tetapi dalam waktu yang bersamaan , konflik berdimensi ekonomi politik juga berada pada sisi yang bersamaan dan setara. Agama meski dipakai sebagai isu perekat bagi kedua komunitas yang berbeda, namun institusi tersebut menemukan momentumnya dalam konflik poso.
III. DERO ( MOENDE ) MERUPAKAN TRADISI YANG TELAH BERMASYARAKAT SECARA UMUM DI SULAWESI TENGAH
Tarian Dero, merupakan salah satu dari sebagian besar kesenian tari yang berasal dari tanah Poso. Tarian ini melambangkan sebuah ungkapan sukacita dari masyarakat Poso khususnya mereka yang mendiami daerah sepanjang lembah Danau Poso.meskipun penulis tidak memahami dengan pasti tentang asal-usul tarian ini, akan tetapi keidentikan tarian Dero dengan masyarakat disepanjang lembah danau Poso didasarkan pada tradisi pengucapan syukur ( padungku ) setelah memperoleh hasil pertanian khususnya dari tanaman pokok padi yang terjadi secara bergelombang daerah tersebut. Prosesi pelaksanaan tarian Dero itu sendiri biasanya dilakukan didaerah yang luas dan lapang. Hal ini dikarenakan seluruh peserta yang melakukan tarian dero adalah masyarakat itu sendiri tanpa melihat status social, umur maupun gender (jenis kelamin ). dengan kata lain tarian dero merupakan tarian massal dan melibatkan seluruh komponen masyarakat sebuah daerah (desa,distrik,wilayah pemerintahan ) berserta tamu dan kerabat keluarga yang datang keacara pengucapan syukur ini. Tarian dero itu sendiri merupakan tarian yang sangat simple untuk dipelajari oleh orang awam sekalipun. Kita hanya berdiri berdampingan dan bergandengan tangan dengan sesama penari. kemudian melakukan hentakan kaki sekali ke kiri kemudian dua kali kekanan mengikuti alunan pantun yang sahut-menyahut yang didendangkan salah seorang yang sedang ikut menari kemudian diikuti nyanyian pantun bersama oleh seluruh penari dero.
Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tarian inipun sangat khas, yaitu ganda (sejenis gendang ) dan ngongi ( sejenins gong ) yang ditabuh bergantian oleh para pemuda dan orang tua. Prosesi tarian Dero pun bisanya dilakukan pada pukul 20.00, dan berakhir kurang lebih pukul 04.00.hal ini dikarenakan tarian Dero dilaksanakan hanya dua sampai tiga kali dalam setahun dibeberapa pusat keramaian sehingga orang-orang akan berdatangan silih berganti dari berbagai pelosok untuk merayakan kegembiraan tersebut. Dalam tarian dero unsur diskriminasi, perbedaan status baik patron dan klien yang telah tercipta oleh struktur social menjadi memudar, mengapa demikian ? karena dalam tarian dero semua orang bebas bergandeng tangan dengan siapa saja. Jadi tidak heran bila seorang pekerja dapat bergandengan tangan dengan seorang kabose atau tadulako ( tuan tanah / raja ).
Tarian Dero bukan hanya sebagai tarian pemersatu masyarakat didaratan lembah danau Poso dan sekitarnya. akan tetapi juga tarian ini diidentikan dengan ajang mencari jodoh.sebab sebagian besar peserta tarian yang ikut menari adalah para kaum muda dan mereka yang masih lajang yang mengharapkan jodoh atau pasangan melalui tarian dero.
Akan tetapi seiring pergeseran nilai akibat kemajuan teknologi, tarian Dero kemudian kehilangan maknanya baik itu makna simbolik maupun norma-noram social yang positif seperti demokratisasi dan kesetaraan gender. Hal dikarenakan masyarakat yang melakukan tradisi ucapan syukur ini telah terkontaminasi dengan pemaknaan kota yang lebih individual dan cenderung bersifat pasif. Hal ini diperburuk dengan masuknya nilai-nilai budaya barat yang disalah tafsirkan oleh masyarakat setempat sebagai sebuah budaya baru yang dapat dikolaborasikan dengan tarian asli. Misalnya masuknya alat-alat musik moderen yang mengantikan musik tradisional didukung sound system yang memadai.dampak budayanya dapat dilihat dengan fenomena beberapa orang saja yang memahami syair lagu, dan peserta lain hanya diam membisu. Selain itu jenis lagu yang dinyayikan terkesan monoton dan tidak menarik.
D. PENUTUP
I. KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :
a. Akar masalah konflik Poso adalah kesenjangan sosial dan ketidakadilan, terutama terjadinya marjinalisasi politik antara penduduk asli dan para pendatang.
b. Banyak pihak yang berperan dalam konflik Poso, yang dengan sengaja menghembuskan isu etnis dan agama untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga masyarakat terprovokasi dan bersikap anarkis.
c. Pendekatan budaya merupakan pendekatan terbaik dan efektif dalam menghentikan konflik sosial di Poso. Filisopi hidup masyarakat Poso, sintuwu maroso terbukti efektif mengembalikan harmonisasi kehidupan masyarakat Poso. (Eddy MT Sianturi S.Si, Puslitbang Strahan Balitbang Dephan).
II. SARAN
Agenda penyelesaian Poso harus ditindaklanjuti secara cepat dan tepat waktu. Bila tidak, masyarakat akan terus dilanda kecemasan atas kemungkinan terjadi lagi serangan yang dapat mengancam nyawa mereka.
Memang untuk mengembalikan kondisi Poso seperti sediakala tidaklah mudah, dibutuhkan waktu yang panjang. Namun bagaimana pun kesengsaraan yang dialami rakyat Poso harus disudahi. Semua ini harus dipikirkan pemerintah dan para pihak yang terkait dengan kesungguhan dan keseriusan. Jangan lagi pemerintah saling mengobral retorika. Pilihan pemerintah sekarang hanya tinggal satu, yaitu bagaimana membawa masyarakat Poso bergerak melangkah ke depan, menuju masyarakat yang damai dan aman. Bukan masyarakat yang penuh konflik sepanjang waktu.
Agar kedamaian benar-benar bisa terwujud di bumi Poso, upaya terpenting dan urgen adalah penegakan hukum yang tegas tanpa pandang bulu. Siapa pun pelaku yang bikin keributan, apalagi kekerasan harus dijatuhi sanksi hukum yang berat agar menimbulkan efek jera. Karena itu, penanganan konflik Poso membutuhkan dukungan politis dan hukum yang lebih kuat dari pemerintahan yang saat ini berkuasa. Ini harus disepakati bersama dan diimplementasikan secara nyata di tengah masyarakat. Di samping itu, baik pemerintah, tokoh masyarakat maupun tokoh agama harus selalu berupaya meningkatkan komunikasi dan saling pengertian antara kelompok-kelompok yang bertikai. Karena bagaimana pun penyelesaian konflik Poso tidak cukup hanya dengan mengedepankan pendekatan hukum dan keamanan semata, tetapi pendekatan individual.
DAFTAR PUSTAKA
Clammer, John. 2003. Neo marxisme Antropology, Studi Ekonomi Politik dan pembangunan.
Sudasiva: Yogyakarta
Furnivall, J.S. 1994. A Study Of Plural Economy. Cambrigde University Press: Cambrigde
Pigay, D.N. 2000. Evolusi Nasionalisme Dan Sejarahn Konflik Di Papua.
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
Sumber Lain :
Harian Radar Sulteng
http://posobersatu.blogspot.com/
Diskusi ; Pengurus Olahraga Sepak Takraw Poso
Dinamika Tanah Sintuwu Maroso
Pengaruh Konflik Terhadap Pemerintahan di Poso
Minggu, 30 Mei 2010
Rabu, 19 Mei 2010
Kearifan lokal Poso ( sintuwu Maroso)
Kekerasan yang terjadi dalam masyarakat Poso dalam perspektif state dan civil society hendaknya dipahami bahwa, konflik tersebut berlangsung akibat dari lemahnya komunikasi para aktor sipil, dan salah satu upaya penguatan basis masyarakat sipil adalah dengan cara membangun komunikasi dan menanamkan nilai-nilai dan tujuan bersama diantara mereka. Salah satu upaya membangun dialog tersebut adalah cara membangun institusi ekonomi yang melibatkan semua komunitas yang pernah bertikai. Penguatan di tingkat peraturan daerah dapat dilakukan jika model-model praktis telah ditemukan. Konsep tentang nilai budaya sintuwu maroso hendaknya lebih ditransformasikan kedalam nilai-nilai kerjasama ekonomi dan etos kerja masyarakat dalam rangka membentuk elan juang masyarakat Poso.
Langganan:
Postingan (Atom)